Jumat, 28 April 2017

Mana Yang Benar Tentang Qunut Subuh, Sunnah Atau Bid'ah?

Masalah qunut shubuh selalu menjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Sebagian dari umat Islam tekun menjalankan doa qunut di waktu shubuh, dengan keyakinan hukumnya sunnah. Namun sebagian lainnya meyakini hukumnya bid'ah dan tidak menjalankannya.

Sebenarnya, qunut dalam shalat subuh adalah masalah yang diperselisihkan hukumnya oleh para fuqaha, apakah qunut dalam shalat subuh itu disyari'atkan atau tidak.

Perselisihan ini disebabkan oleh adanya beberapa hadits yang saling kontradiksi, ada hadits yang mengatakan bahwa qunut subuh sudah dihapus dan Rasulullah SAW tidak lagi melakukannya, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya:

عن أنس: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت شهرا يدعو على أحياء من أحياء العرب، ثم تركه

“Dari Anas radiallahu ‘anhu bahwasanya rasulullah melakukan qunut selama satu bulan mendoakan celaka bagi perkampungan dari perkampungan-perkampungan arab, kemudian beliau meninggalkannya”. HR: Muslim

Ada juga hadits yang mengatakan bahwa qunut subuh tidak ditinggalkan dan Rasulullah masih melakukannya sampai beliau wafat, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya:

عن أنس بن مالك قال: ما زال رسول الله صلى الله عليه وسلم يقنت في الفجر حتى فارق الدنيا

“Dari Anasa bin Malik beliau berkata: Rasulullah masih melakukan qunut pada shalat subuh sampai beliau wafat”.HR: Ahmad

Dikarenakan dua hadits yang dzahirnya saling kontradiksi diatas dan hadits-hadits lain yang serupa, para ulam berbeda pendapat dalam qunut shalat subuh, berikut pendapat para ulama dalam hal ini:

1. Madzhab Hanafi
Menurut ulama hanafiyah qunut pada shalat subuh sudah dinasakh dan tidak lagi masyru’, bahkan beberapa ulama dari madzhab ini mengatakan qunut subuh bid’ah.

Badruddin Al ‘Aini ( w 855 H) dari madzhab hanafi dalam kitab al binayah syarah al hidayah mengatakan:
قد ذكرنا النسخ ووجهه وكل من روى القنوت، وروى تركه ثبت عنده نسخه؛ لأن فعله للمتأخر ينسخ المتقدم

Sudah kami sebutkan sisi dinasakhnya qunut, dan semua rawi yang meriwayatkan qunut dan meriwayatkan tidak qunut sudah menetepkan bahwa qunut sudah dinasakh, karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terakhir menasakh yang terdahulu.[1]

Syaikh Zadah (w 1078 H) dari madzhab hanafi di dalam kitab Majma’ Al Anhur Syarah Multaqa Al Abhur menyebutkan bahwa qunut dalam madzhab mereka (hanafi) tidak disyari’atkan pada selain witir, bahkan beliau menyebutkan pendapat Imam Madzhab, yaitu Abu Hanifah yang mengatakan bahwa qunut subuh itu bid’ah:
ولا يقنت في صلاة غيرها أي غير صلاة الوتر عندنا قال الإمام: القنوت في الفجر بدعة خلافا للشافعي فإن القنوت في صلاة الفجر في الركعة الثانية بعد الركوع مسنون عنده

Dan tidak disyariatkan qunut pada selain witir dalam madzhab kami,  Imam Abu Hanifah berkata: “qunut pada shalat subuh bid’ah”, berbeda dengan Syafii yang yang berpendapat bahwa qunut subuh disunnahkan setelah ruku’ pada raka’at kedua.[2]

2. Madzhab Maliki
Para ulama malikiyah berpendapat bahwa qunut dalam shalat subah masih disyariatkan dan hukumnya adalah sunnah, qunut dalam madzhab ini bisa dilakukan sebelum ruku’ pada raka’at kedua shalat subuh atau sesudah ruku’.

Ibnu Abdi Al-Barr (w 463 H) dari madzhab maliki di dalam kitabnya Al Kafi Fi Fiqhi Ahli Al Madinah mengatakan:
ويقنت في صلاة الصبح الإمام والمأموم والمنفرد إن شاء قبل الركوع وإن شاء بعده كل ذلك واسع والأشهر عن مالك القنوت قبل الركوع

Dan dianjurkan bagi imam, makmum atau orang yang shalat sendirian untuk melakukan qunut dalam shalat subuh, jika ia mau, sebelum ruku’ atau setelah ruku’, semua itu ada keluasan, dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik adalah sebelum ruku’.[3]

Imam Al Qarafi Al Maliki (w 684) mengatakan dalam kitabnya Adz Dzakhirah bahwa qunut subuh dalam madzhab maliki masyru’:
قنوت الصبح وهو عندنا وعند ش مشروع خلافا لابن حنبل وفي الصبح عندنا وعند ش خلافا ح في تخصيصه إياه بالوتر

Qunut subuh menurut kami dan menurut Syafii disyariatkan berbeda dengan Ibnu Hanbal, dan pada shalat subuh berbeda dengan Abu Hanifah yang mengkhususkan qunut pada shalat witir.[4]

4. Madzhab Syafii
Qunut pada shalat subuh menurut madzhab ini hukumnya mustahab/sunnah, qunut menurut ulama Syafiiyah dilakukan setelah ruku’ pada raka’at kedua shalat subuh, dan jika seseorang lupa melakukan qunut dan langsung sujud maka dianjurkan untuk sujud sahwi.

Imam An Nawawi (w 676 H) seorang muhaqqiq dan mujtahid tarjih dalam madzhab Syafii di dalam kitabnya Al Majmu’ menyebutkan:
القنوت في الصبح بعد رفع الرأس من ركوع الركعة الثانية سنة عندنا بلا خلاف وأما ما نقل عن أبي علي بن أبي هريرة رضى الله عنه أنه لا يقنت في الصبح لأنه صار شعار طائفة مبتدعة فهو غلط لا يعد من مذهبنا

Qunut pada shalat subuh setelah mengangkat kepala dari ruku’ pada raka’at kedua sunnah dalam madzhab kami tanpa ada perbedaan, adapun yang dinukil dari Abu Ali bin Abu Hurairah radiallahu ‘anu bahwa tidak qunut pada shalat subuh, karena hal itu sudah menjadi syi’ar kelompok ahli bid’ah maka itu salah dan tidak termasuk madzhab kami.[5]

Syaikh Al Islam Zakariya Al Anshari (w 926 H) dari madzhab Syafii juga menyebutkan pendapat serupa yang disebutkan An Nawawi, yaitu qunut pada shalat subuh dalam madzhab Syafii sunnah:
فصل القنوت مستحب بعد التحميد في اعتدال ثانية الصبح

Fashal, Qunut hukumnya mustahab setelah tahmid pada i’tidal raka’at kedua shalat subuh.[6]

4. Madzhab Hanbali
menurut ulama Hanabilah qunut pada shalat subuh tidak disunnahkan, begitu juga pada shalat fardhu yang lain, dan qunut hanya dianjurkan pada shalat witir.

Al Muwaffaq Ibnu Qudamah (w 620 H) dari madzhab hanbali didalam kitabnya al mughni menyebutkan:
ولا يسن القنوت في الصبح، ولا غيرها من الصلوات، سوى الوتر

Dan tidak disunnahkan qunut pada sholat subuh, dan tidak juga pada shalat fardhu yang lainnya, kecuali shalat witir.[7]

Imam Al-Mardawi (w 885 H) dari madzhab yang sama menyebutkan hal serupa, yaitu qunut hanya dianjurkan pada shalat witir dan tidak pada shalat yang lain:
ولا يقنت في غير الوتر، الصحيح من المذهب: أنه يكره القنوت في الفجر كغيرها، وعليه الجمهور

Dan tidak dianjurkan qunut pada selain shalat witir, pendapat yang shahih dalam madzhab (hanbali) yaitu dimakruhkan qunut pada shalat subuh seperti makruhnya qunut pada shalat-shalat yang selain subuh, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.[8]

Namun jika seseorang yang tidak meyakini kesunnahan qunut subuh menjadi makmum orang yang melakukan qunut maka dia dianjurkan untuk mengaminkan sebagaimana disebutkan oleh Al Mardawi di dalam kitabnya Al Inshaf Fi Ma’rifati Ar Rajihi Min Al Khilaf:
لو ائتم بمن يقنت في الفجر تابعه، فأمن أو دعا

Jika ia bermakmum dengan orang yang melakukan qunut pada shalat subuh ia harus mengikutinya dengan mengaminkan atau berdo’a.[9]

5. Madzhab Dzahiri
Dalam madzhab ini qunut tidak hanya dianjurkan pada shalat subuh saja, tetapi juga dianjurkan pada semua shalat fardhu, begitu juga shalat witir, dan letaknya setelah ruku’.

Ibnu Hazm (w 456 H) dari madzhab dzahiri dalam kitabnya Al Muhalla Bi l-Atsar mengatakan:
والقنوت فعل حسن، بعد الرفع من الركوع في آخر ركعة من كل صلاة فرض - الصبح وغير الصبح، وفي الوتر، فمن تركه فلا شيء عليه في ذلك

Dan qunut adalah perbuatan yang baik, setelah bangkit dari ruku’ pada setiap raka’at terakhir shalat fardhu, baik subuh atau selainnya dan juga pada shalat witir, siapa yang meninggalkannya maka tidak apa-apa.[10]

Demikianlah pendapat para ulama mengenai hukum qunut dalam shalat subuh, dan mereka tidak satu pendapat dalam hal ini, ada yang mengatakan sunnah dan ada yang mengatakan tidak, bahkan ada yang mengatakan bahwa qunut subuh adalah bid’ah, dan setiap ulama mempunyai dalil masing-masing yang medukung pendapatnya.

Qunut Shubuh: Khilaf Sepanjang Zaman
--------------------------------------
Dan masih banyak lagi dalil-dalil syar'i yang saling berbeda, di mana masing-masing ulama saling mempertahankan pandangannya. Dan keadaan ini tidak akan berakhir dengan kekalahan atau kemenangan salah satu pihak. Tetapi tetap akan terus terjadi saling mempertahankan pendapat.

Karena itu sebaiknya buat anda, tidak perlu ikut terjebak dalam masalah perbedaan pendapat ini, hingga harus menambah pe-er baru di tengah masyarakat. Kalau anda tinggal di sebuah komunitas yang menjalankan qunut shubuh, sebaiknya anda menghormati mereka. Janganlah tampakkan perbedaan anda dengan mereka secara konfrontatif. Sebab boleh jadi mereka malah memandang bahwa yang tidak pakai qunut itu adalah lawan mereka.

Sebagai seorang da'i, tentu posisi seperti sangat tidak produktif. Apalagi masalahnya pun sekedar perbedaan pandangan kalangan ahli hadits dan ahli fiqih. Sementara anda dan masyarakat tempat anda tinggal itu, tidak satu pun yang punya kualifikasi sebagai ahli hadits atau pun ahli fiqih. Jadi buat apa saling berdebat yang bukan wilayah keahliannya.

Namun anda tetap boleh memilih salah satunya, terutama bila anda lebih merasa yakin dengan pendapat salah satunya itu. Asalkan sebelumnya anda perlu menimbang dulu mana yang lebih baik buat dakwah anda itu.

Dan para ulama sendiri tidak pernah melarang seseorang untuk berpindah mazhab. Juga tidak pernah mewajibkan seseorang untuk selalu berpegang pada satu pedapat saja.

Di masa mereka, para ulama yang berbeda tentang hukum qunut itu bisa shalat berjamaah dengan rukun, tanpa harus saling menjelekkan apalagi saling mencaci ata mengatakan tukang bid'ah.

Jika demikian, maka tidak sepantasnya kita saling menyalahkan, biarlah orang yang tidak sependapat dengan kita melakukan ibadahnya sesuai pendapat yang ia yakini kebenarannya, dan kita pun melakukan ibadah kita sesuai pendapat yang kita yakini kebenarannya.

Semoga Allah SWT meluaskan ilmu kita dan semakin memberikan kecerdasan syariah kepada umat ini. Amien.

Allahu ‘alam

-------------
[1] Badruddin Al ‘Aini, Al Binayah Syarah Al Hidayah jilid 2 Hal. 498
[2] Syaikh Zadah, Majma’ Al Anhur Syarah Multaqa Al Abhur jilid 1 Hal. 129
[3] Ibnu Abd Al Barr, Al Kafi Fi Fiqhi Ahli Al Madinah jilid 1 Hal. 207
[4] Al Qarafi, Ad Dzakhirah jilid 2 Hal. 230
[5] An Nawawi, Al Majmu’ jilid 3 Hal. 494
[6] Syaikh Al Islam Zakariya Al Anshari, Asna Al Mathalib jilid 1 Hal. 158
[7] Ibnu Qudamah, Al Mughni jilid 2 Hal. 114
[8] Al Mardawi, Al Inshaf Fi Ma’rifati Ar Rajihi Min Al Khilaf jilid 2 Hal. 174
[9] Al Mardawi, Al Inshaf Fi Ma’rifati Ar Rajihi Min Al Khilaf jilid 2 Hal 174
[10] Ibnu Hazm, Al Muhalla Bi Al Atsar jilid 3 Hal 54

http://www.kampussyariah.com/mbt/x.php?id=16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar