Jumat, 28 April 2017

Saqifah Bani Sa’idah

Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat, kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Medengar hal itu, Umar dan Abu Ubaidah pun bergegas menemui mereka untuk mencegah timbulnya fitnah dan memberitahu mereka siapa yang dia setujui untuk menjadi khalifah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Namun, kemudian mereka justru membaiatnya: Umar atau Abu Ubaidah, sementara Umar tidak menyangka bahwa baiat itu ditujukan kepadanya.

Mari kita simak pemaparan Abu Hafsh Umar bin Khaththab tentang peristiwa tersebut, sebagaimana dikutip dalam buku 10 Shahabat yang Dijanjikan Masuk Surga karya Abdus Sattar Asy-Syaikh.

Umar menuturkan, “Aku berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, silakan pimpin kami menemui saudara-saudara kita dari kaum Anshar.”

Maka kami pun berangkat untuk menemui mereka. Ketika kami sudah hampir sampai, dua orang shalih datang menemui kami dan mengutarakan kesepakatan orang-orang. Mereka bertanya, “Hendak kemana gerangan kalian wahai kaum Muhajirin?”

Kami menjawab, “Hendak menemui saudara-saudara kami kaum Anshar.”

Mereka berkata, “Jangan sekali-kali kalian mendekat kepada mereka, batalkan rencana kalian.”

Namun saya katakan, “Demi Allah, kami harus mendatangi mereka”.

Maka kami pun berangkat hingga mendatangi mereka di Saqifah Bani Sa’idah, ternyata di sana ada seorang laki-laki yang berselimut kain di tengah-tengah mereka.

Saya pun bertanya, “Siapakah ini?”

Mereka menjawab, “Ini Sa’ad bin Ubadah.”

Saya bertanya lagi, “Ada apa dengannya?”

Mereka menjawab, “Dia tengah sakit dan mengalami demam yang serius.”

Tatkala kami duduk sebentar, juru pidato mereka bersaksi dan memanjatkan pujian kepada Allah dengan pujian yang semestinya bagi-Nya, kemudian mengatakan,

“Amma ba’du. Kami adalah penolong-penolong Allah (ansharullah) dan laskar Islam, sedang kalian wahai segenap muhajirin hanyalah sekelompok manusia yang terusir dari bangsa kalian, namun anehnya tiba-tiba kalian ingin mencongkel wewenang kami dan menyingkirkan kami dari akar-akarnya serta ingin memonopoli kepemimpinan.”

Tatkala juru pidato itu diam, saya ingin berbicara dan telah saya memperindah sebuah ungkapan kata yang membuat saya terkagum-kagum dan ingin saya ungkapkan di hadapan Abu Bakar, yang dalam beberapa batasan saya sekedar menyindirnya.

Tatkala saya ingin bicara, Abu Bakar menegur, “Tunggu sebentar!”

Maka saya tidak suka jika niatku menjadikannya marah! Maka Abu Bakar berbicara, dia lebih lembut daripadaku dan lebih bersahaja.

Demi Allah, tidaklah dia meninggalkan sebuah kata yang saya kagumi dalam susunan yang saya buat indah selain ia ucapkan dalam pidato dadakannya yang semisalnya atau bahkan lebih baik hingga dia diam.

Kemudian Abu Bakar mengatakan,
“Kebaikan yang kalian sebut-sebutkan memang kalian penyandangnya dan sesungguhnya masalah kekhilafahan ini tidak diperuntukkan selain untuk penduduk Quraisy ini yang mereka adalah pertengahan di kalangan bangsa arab dari segi nasab dan keluarganya, dan saya telah meridhai salah satu dari dua orang ini untuk kalian, maka baiatlah salah seorang di antara keduanya yang kalian kehendaki.”

Setelah itu, Abu Bakar menggandeng tanganku dan tangan Abu Ubaidah bin Jarrah, dan dia duduk ditengah-tengah kami.

Tidak ada yang saya benci dari perkataannya selain yang terakhir ini.

Demi Allah, kalaulah saya digiring kemudian leherku dipenggal dan itu tidak mendekatkan diriku kepada dosa, itu lebih saya sukai daripada saya memimpin suatu kaum padahal di sana masih ada Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Ya Allah, kalaulah bukan karena jiwaku membujukku terhadap sesuatu pada saat kematian yang tidak saya dapatkan sekarang.

Rupanya ada seorang dari kaum Anshar berujar,

“Aku adalah kepercayaan Anshar, berpengalaman, cerdas dan tetua yang dihormati, dari kami seorang pemimpin dan dari kalian seorang pemimpin, wahai kaum Quraisy!”

Spontan terjadi kegaduhan, suara-suara meninggi, hingga saya memisahkan diri dari perselisihan dan aku katakan, “Julurkan tanganmu wahai Abu Bakar!”

Lantas Abu Bakar menjulurkan tangannya, saya langsung berbaiat kepadanya, orang-orang muhajirin pun secara bergilir berbaiat kepadanya, kemudian orang Anshar juga berbaiat kepadanya.

Aku pun bangkit dan mengingatkan mereka tentang sebuah peristiwa yang terjadi menjelang wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Aku katakan, “Bukankah kalian tahu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menyuruh Abu Bakar untuk menjadi imam shalat?! Maka siapa di antara kalian yang ingin mendahului Abu Bakar?”

Mereka serempak menjawab, “Kami berlindung kepada Allah dari sikap mendahului Abu Bakar.”

Zaid bin Tsabit lantas berdiri dan berkata, “Tahukah kalian bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam itu termasuk salah satu dari golongan muhajirin dan penggantinya pun dari kalangan muhajirin.

Sementara kita sebelumnya merupakan para penolong Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka sekarang kita menjadi penolong pengganti beliau sebagaimana sebelumnya kita menjadi penolong beliau.”

Kemudian Zaid meraih tangan Abu Bakar dan berkata, “Ini adalah sahabat kalian!”

Maka aku pun membaiat Abu Bakar, diikuti oleh kaum muhajirin dan kaum Anshar.

Sedangkan Ali bin Abi Thalib berpendapat, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sempat sakit beberapa hari. Dalam jangka waktu itu beliau menyuruh Abu Bakar untuk menjadi imam shalat. Ketika beliau wafat, saya mencermati bahwa ternyata shalat itu merupakan lambang Islam dan tiang agama. Maka kami ridha jika urusan dunia kami diserahkan kepada orang yang diridhai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam urusan agama kami. Kami pun membaiat Abu Bakar.”

Dengan kisah ini, jelaslah bahwa semua shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshar berbaiat kepada Abu Bakar. Tidak ada satu pun dari mereka yang menolak Abu Bakar sebagai khalifah pertama dalam Islam.

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar