Sabtu, 27 Mei 2017

DASAR HUKUM "WAKTU IMSAK"


Salah satu hal yang terkadang masih dibicarakan dan diperdebatkan adalah mengenai adanya waktu imsak, yaitu jeda waktu sebelum adzan sholat subuh dikumandangkan (biasanya 10 menit sebelum adzan), pada waktu ini umumnya orang yang hendak berpuasa berhenti makan dan minum.

Banyak yang menganggap bahwa ketika seseorang makan atau minum pada waktu ini maka puasanya batal, sedangkan sebagian orang ada yang menganggap sebaliknya, bahwa waktu imsak itu tak memiliki dasar hukum, sebab larangan makan dan minum itu dimulai pada saat terbitnya fajar yang berarti telah masuknya waktu sholat shubuh. Untuk itulah pemahaman ini perlu diluruskan agar "waktu imsak" tak lagi disalah pahami dihukumi bid’ah, atau ditentang.

Para ulama' telah menetapkan bahwa awal waktu pelaksanaan puasa dimana seseorang tidak lagi diperbolehkan makan dan minum adalah ketika fajar shodiq telah terbit, terbitnya fajar shodiq juga merupakan tanda telah masuknya waktu sholat shubuh, fajar shodiq ialah terlihatnya cahaya putih yang melintang mengikut garis lintang ufuk di sebelah timur akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer.

Dalil-dalil Waktu Sahur dan Hukum Imsak:

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ } [البقرة: 187]

”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian bagi kamu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (QS. 2:187).

Maksud dari kata "Benang Putih" dan "Benang Hitam" dijelaskan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh 'Addi bin Hatim radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ: {حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ} مِنَ الْفَجْرِ قَالَ لَهُ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أَجْعَلُ تَحْتَ وِسَادَتِي عِقَالَيْنِ: عِقَالًا أَبْيَضَ وَعِقَالًا أَسْوَدَ، أَعْرِفُ اللَّيْلَ مِنَ النَّهَارِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ وِسَادَتَكَ لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ، وَبَيَاضُ النَّهَارِ»

"Ketika turun ayat; "Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." Maka Adi bin Hatim berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, aku meletakkan benang putih dan benang hitam di bawah bantalku untuk membedakan malam dan siang." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Bantalmu itu terlalu lebar. Yang dimaksud dengan benang hitam ialah gelapnya malam, dan (benang putih) adalah cahaya siang." (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits lain diriwayatkan:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " أُنْزِلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ، مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ}  وَلَمْ يَنْزِلْ {مِنَ الفَجْرِ} ، فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الخَيْطَ الأَبْيَضَ وَالخَيْطَ الأَسْوَدَ، وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ: {مِنَ الفَجْرِ} فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ " (متفق عليه)

Dari Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: “Diturunkan oleh Allah ayat ” .. dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” dan belum diturunkan kalimat “yaitu fajar [minal fajr]“, maka masyarakat kalau ingin melaksanakan puasa, salah satu diantara mereka mengaitkan benang putih dan benang hitam, dan mereka meneruskan makan hingga terang bagi mereka keduanya. Lalu Allah menurunkan kalimat “minal fajr, yaitu fajar”, maka mereka tahu, bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang”. (Muttafaq ‘alaih)

2. Hadits riwayat At-Turmudzi:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سُحُورِكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ، وَلاَ الفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ، وَلَكِنِ الفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي الأُفُقِ.

Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan: RasululLah shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: “Janganlah adzan Bilal melerai sahur kalian, dan juga fajar yang memanjang (fajar kadzib), akan tetapi [yang melerai adalah] fajar yang menyebar di ufuk (fajar shodiq).”

3. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ - أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ - أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ، فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ - أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ - لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ، وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ» (متفق عليه)  

Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia mengatakan: “Janganlah adzan Bilal mencegah salah satu di antara kalian dari makan sahurnya, karena ia mengumandangkan adzan di tengah malam, untuk mengingatkan di antara kalian yang bangun dan untuk membangunkan yang masih tidur.” (Muttafaq ‘alaih)
.
4. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ بِلاَلًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ»

Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq”  (Muttafaq ‘alaih)..

Dari keterangan diatas dapat dipahami, bahwa anggapan yang menyatakan bahwa ketika waktu imsak tiba maka seseorang tak lagi boleh makan dan minum, sebab larangan makan dan minum baru berlaku saat fajar shodiq telah terbit yang ditandai dengan dikumandangkannya adzan sholat shubuh.

Lalu mengenai anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa "waktu imsak" tak memiliki dasar juga tidak bisa dibenarkan, padahal "penambahan" waktu imsak memiliki dalil yang kuat.

Penambahan waktu ini diantaranya didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia mengisahkan:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَسَحَّرَا، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا، قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَصَلَّى، فَقُلْنَا لِأَنَسٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً

“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu pernah sahur bersama, ketika keduanya telah selesai, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beranjak untuk mengerjakan sholat, kemudian beliau sholat. Kami bertanya pada Anas: "Berapa waktu diantara selesainya mereka berdua sahur dan masuknya keduanya untuk mengerjakan sholat? Anas menjawab: "Kira-kira seseorang membaca 50 ayat al-qur'an." (Shahih Bukhari, no. 1134)

Dalam riwayat lain,

عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً .

Dari Anas meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu berkata: “Kami telah makan sahur bersama-sama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau bangun mengerjakan shalat. Aku (Anas) bertanya (kepada Zaid): “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan waktu makan sahur itu ?” Dia menjawab: “sepadan dengan waktu yang dibutuhkan untuk  membaca 50 ayat.” (HR Al-Bukhari)

Ibnu Hajar Al-‘Asqolaniy dalam kitab Fathul Bari – Syarh Shahih Al-Bukhari, menjelaskan;

قوله (باب قدركم بين السحور وصلاة الفجر) أي انتهاء السحور وابتداء الصلاة لأن المراد تقدير الزمان الذي ترك فيه الأكل والمراد بفعل الصلاة أول الشروع فيها قاله الزين بن المنير (فتح الباري - ابن حجر 4 / 138)

Maksud perkataannya (Imam Al-Bukhari) [Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dan shalat subuh] yakni waktu akhir sahur dan mulai shalat, karena sesungguhnya yang dimaksud adalah perkiraan waktu berhenti makan; dan yang dimaksud dengan “melakukan shalat” adalah awal masuk waktu shalat, sebagaimana dikatakan oleh Az-Zain bin Al-Munir

Selanjutnya Ibnu Hajar menjelaskan:

قوله (قال قدر خمسين آية) أي متوسطة لا طويلة ولا قصيرة لا سريعة ولا بطيئة

“Kalimat (beliau bersabda: “seukuran 50 ayat”) yakni bacaan yang sedang; tidak  panjang dan tidak pendek, tidak cepat dan tidak juga lambat”.

Imam an-Nawawi di dalam kitab “Syarah Muslim” tatkala mensyarahkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar bin Abu Syaibah yang kandungannya hampir sama dengan hadits Imam al-Bukhari di atas, menyatakan:-

... وفيه الحث على تأخير السحور إلى قبيل الفجر ( شرح النووي على مسلم  7 / 207 )

“… padanya (yakni dalam hadits tersebut) terkandung anjuran untuk mengakhirkan sahur beberapa saat sebelum terbit fajar”, ( yakni kita dianjurkan untuk mengakhirkan makan sahur beberapa saat sebelum terbitnya fajar shadiq.

Perhatikanlah, dengan berdasarkan pemahaman terhadap hadits di atas yang berasal dari perbuatan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. ulama berpendapat bahwa waktu imsak yang menjadi sunnah untuk menyelesaikan makan sahur (yakni bagi yang telah bersahur) adalah sebelum fajar shadiq terbit.

Sedangkan perkiraan waktu "10 menit" sebelum adzan shubuh dikumandangkan adalah ijtihad para ulama', sebab dalam hadits tersebut hanya dijelaskan bahwa perkiraan waktu selesai sahur sampai sholat shubuh kira-kira membaca 50 ayat Al-Qur'an.

Perkiraan 10 menit didasarkan atas perhitungan sebagai berikut:

[1] Fajar kadzib dan fajar shadiq adalah gejala alam seperti halnya terbitnya mega merah di ufuk barat [pertanda waktu Maghrib], condongnya matahari ke barat [pertanda waktu Dzuhur], dan gejala-gejala alam lainnya. Gejala-gejala alam ini, sejak lama sekali telah dapat diketahui melalui ilmu falak [astronomi], sehingga untuk mengetahuinya tidak perlu melalui pengamatan alam secara langsung. Fajar misalnya, untuk mengetahuinya tidak perlu kita keluar ke alam bebas, kemudian mengamatinya dengan mata telanjang, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan kemajuan di bidang astronomi.

Karena itu, penentuan waktu salat kita, dan juga waktu imsak puasa kita, selama ini secara keseluruhan memakai standar ilmu falak, bukan melalui pengamatan alam secara langsung. Dan pada kenyataannya, penentuan ini lebih akurat dan lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang pengamatan secara langsung tsb.

[2] Ilmu Falak yang banyak berkembang di penanggalan kita masih bersifat “taqdiry”, atau bersifat perkiraan, belum mampu menetapkan waktu dengan keakuratan 100%. Masih terdapat keragu-raguan sekitar satu hingga dua menitan dari waku faktualnya. Karena itu, dalam penanggalan yang banyak berkembang di negara kita, terdapat waktu “ihtiyath”, waktu preventif atau jaga-jaga. Misalnya, waktu dzuhur: sesuai dengan ketentuan ilmu falak yang ada, adalah jam 12:00. Akan tetapi karena keakuratannya belum mampu mancapai 100%, maka dalam penanggalan ditambahi lima menit. Jadi yang tercatat dalam penanggalan adalah 12:05, dengan asumsi ada waktu preventif 5 menit. Begitu pula waktu-waktu salat lainnya, ada penambahan antara tiga hingga lima menit dalam catatan di penanggalan.

[3] Dengan asumsi waktu preventif 5 menit, maka waktu subuh [terbitnya fajar] yang mestinya jatuh pada jam 4:30 [misalnya], menjadi jatuh pada jam 4:35 dalam pencatatan di penanggalan. Waktu yang sama, yakni terbitnya fajar, jika digunakan untuk menentukan mulainya berpuasa, maka akan terjadi pengajuan jam, dari jam 4:30 menjadi 4:20, dengan asumsi waktu preventif imsak 10 menit. Kalau waktu preventifnya adalah lima menit, maka waktu imsak sebagaimana dalam penanggalan adalah 4:25.

Dengan menghitung dua waktu preventif sekaligus, yakni preventif subuh dan preventif imsak, maka bisa dimengerti kalau jarak antara waktu imsak dan adzan subuh adalah 10 hingga 15 menit. Secara teoritik, mestinya waktu subuh dan waktu imsak adalah sama, yakni terbitnya fajar shadiq, akan tetapi dalam kenyataan yang tertulis dalam penanggalan bisa terpaut antara 10 hingga 15 menit.

Perlu dipahami pula bahwa hikmah dari penambahan waktu imsak adalah sebagai sikap kehati-hatian (ikhthiyath) agar sebelum waktu sholat subuh tiba seseorang sudah tidak dalam keadaan makan dan minum sehingga menyebabkan puasanya menjadi batal. Sikap berhati-hati seperti ini dianjurkan oleh agama, dan atas dasar inilah para ulama' menetapkan bahwa ketika sedang berpuasa dimakruhkan berlebihan ketika berkumur, karena dikhawatirkan airnya masuk dan puasanya batal, begitu juga ditetapkan mengenai kemakruhan mencium istri ketika puasa dengan alasan yang sama.

Kesimpulan akhir:
Waktu imsak memiliki dasar hukum agama, dan pada waktu ini seseorang masih diperbolehkan makan dan minum sampai terbitnya fajar, namun sebaiknya menyudahi makan dan minum pada saat telah masuk waktu imsak sebagai sikap kehati-hatian, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi.

Wallahu a'lam bish-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar